Kamis, 26 April 2018

JAKARTA – Katua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra menyindir Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang menyakan isu TKA digunakan untuk kepentingan politik. Hal itu dikatakan Jokowi saat pelepasan ekspor mobil Xpander Mitsubishi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara , Rabu, (25/4/2018).

“Ya jelas saja, ini perusahaan Jepang. Masa perusahaan Jepang akan pekerjakan TKA dari Tiongkok. Coba resmikan perusahaan China, pastikan berapa tenaga kerjanya yang lokal dan yang didatangkan dari Tiongkok,” tulis Yusril di akun Twitter prinadinya, Rabu (25/4/2018).

Menurut Pakar Hukum Tata Negara, presiden berulangkali mengatakan bahwa ada yang komplain bahwa prosedur perizinan TKA berbelit2, sehingga diperlukan Perpres baru untuk memudahkannya.

“Sejujurnya, siapa yang komplain itu Pak Presiden? Kita ini melayani siapa, bangsa sendiri atau melayani siapa?,” ujar Yusril.

Kuasa Hukum KSPI ini menegaskan, Pemerintah selalu saja berdalih ada jutaan TKI kerja di LN, negara lain tdk protes, kok kita protes membanjirnya TKA ke sini. Mereka tdk protes karena mereka butuh TKI kita.

“Kita protes karena kita tidak butuh TKA. Disini msh banyak yg miskin dan nganggur, untuk apa TKA?,” tagas Yusril.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut isu negatif soal Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) digunakan untuk kepentingan politik. Padahal, Perpres TKA bertujuan menyederhanakan prosedur administrasi bagi pekerja asing di Indonesia.

“Sebetulnya yang kita reform adalah bagaimana menyederhakan prosedur administrasi untuk TKA. Jadi berbenah (sederhanakan administrasi). Inilah yang namanya politik,” ujar Jokowi saat pelepasan ekspor mobil Xpander Mitsubishi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara , Rabu, 25 April 2018. (abadikini.com)

Rabu, 25 April 2018

Ada hikmah tersembunyi di balik pelemahan rupiah terhadap dolar AS pada bulan April 2018, yang hampir menyentuh Rp 14.000 per dolar AS.

Hikmahnya, adalah membuka fakta tentang masih lemahnya ekonomi Indonesia. Fakta itu adalah jebloknya surplus perdagangan Indonesia pada periode Januari hingga Maret 2018.

“Surplus perdagangan Januari hingga Maret 2017 adalah 4,09 miliar dolar AS, sementara Januari hingga Maret 2018 hanya 0,28 miliar dolar AS. Anjlok hampir 15 kali lipat! Jika surplus perdagangan anjlok, nilai tukar cenderung tertekan, kecuali jika ada faktor lain yang kuat melawan efek anjloknya neraca perdagangan,” ujar ekonom senior Indef, Dradjad H Wibowo, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (25/4).

Dradjad tak tahu mengapa data anjlok di atas lolos dari perhatian, terutama pejabat terkait. Padahal, data di atas menjadi faktor yang signifikan membuat rupiah melemah. Karena itu, Dradjad tidak setuju jika dikatakan pelemahan rupiah kali ini karena faktor eksternal.

“Sebagian pejabat pemerintah dan BI memang senang memakai alasan ini ketika rupiah melemah. Namun saat rupiah menguat, langsung diklaim sebagai hasil kinerja pemerintah atau BI. Benar ada pengaruh faktor eksternal, terutama kebijakan The Fed. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh pasar sejak Januari hingga Februari 2018,” tegas Dradjad, yang juga anggota Dewan Kehormatan PAN.

Fakta lain yang bisa dibaca, sambung Dradjad, adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tetap gagal keluar dari “jebakan 5 persen.” Padahal pembangunan infrastruktur digenjot besar-besaran. Di negara lain, misalnya dengan melihat pengalaman berbagai negara seperti AS, pada saat depresi besar, masifnya pembangunan infrastruktur itu mampu melonjakkan pertumbuhan.

“Kalau di Indonesia gerojogan belanja infrastruktur nggak ngefek ke pertumbuhan, tampaknya ini karena kondisi dunia usaha. Sudah tiga tahun-an ini para pelaku usaha ngos-ngosan. Banyak yang cerita ke saya, betapa sulitnya bisnis mereka tiga tahun terakhir ini. Mulai dari pengusaha properti hingga pedagang baju, hingga konsultan dan sebagainya,” ungkap Dradjad.

Di antara keluhan pelaku usaha itu, sambung Dradjad, adalah seperti penjualan susah, marjin tipis dan hidup dikejar-kejar pajak. Padahal, nilai tambah yang para pelaku usahan kreasikan dan distribusikan menjadi lokomotif bagi konsumsi rumah tangga dalam perekonomian.

“Entah mengapa kondisi lapangan yang riil seperti ini terkesan lolos dari data BPS. Tapi, fakta bahwa lonjakan belanja infrastruktur nggak ngefek ke pertumbuhan adalah bukti awal yang sahih tentang lemahnya ekonomi dan bisnis,” sambung Dradjad.

Dradjad menambahkan, jika saja belanja infrastruktur tidak melonjak besar-besaran, dengan kenaikan hanya setara dengan jaman Presiden SBY, maka rasa-rasanya pertumbuhan ekonomi hanya berkisar sedikit di atas 4 persen. Soalnya, sudah tidak tahun belanja infrastruktur digenjot, namun pertumbuhan tetap mentok sekitar 5 persen.

“Berarti, ada mesin pertumbuhan ada yang macet. Ini harus segera diatasi,” demikian Dradjad. (rmol)

Sabtu, 07 April 2018



Mantan gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat baru-baru ini mendapatkan penolakan dari sejumlah tokoh adat melayu karena Kelompok masyarakat di Kabupaten Langkat berencana memberikan gelar Datuk kepada Djarot.

Tokoh Masyarakat melayu Tengku Fahrizal menjelaskan perlu diketahui, dalam adat dan resam budaya melayu, yang memberikan anugerah gelar adat adalah pemangku adat.

Pemangku adat, dalam hal ini sultan, memiliki hak preogratif untuk memberikan gelar kepada seseorang berdasarkan kriteria. Bukan sebatas tokoh atau orang yang dikagumi masyarakat.

“Pemberian gelar merupakan hak preogratif sultan dengan pertimbangan atas jasa seseorang atas sumbangsih terhadap kemajuan bagi negeri,” ungkap Fahrizal dikutip dari laman Berita RMOLSumut, Sabtu (7/4/2018).

Lebih lanjut Fahrizal menjelaskan melayu memiliki identitas yang sama dengan budaya Islam. Sebab itu, kriteria dan penganugerahan mengikuti kaidah hukum adat dan syariat islam.

Menurutnya penganugerahan gelar datuk kepada Djarot berbau politis dan tidak sesuai dengan norma yang ada.

Fahrizal juga menilai sangat wajar jika masyarakat melakukan penolakan terhadap penganugerahan gelar kepada Djarot.

“Penolakan ini bukan karena politik, tapi ada kaidah adat yang tidak sesuai. Gelar adat tidak bisa diberikan oleh lembaga atau datuk, ada kaidah, ” tegas Fahrizal. (bob.ak/rmol)
Polisi Partai Hanura, Amron Asyrai melaporkan Sukmawati Soekarnoputri ke Polda Metro Jaya. Sukmawati dilaporkan dengan Pasal 156 a KUHP tentang Penistaan Agama. Laporan yang dibuat Amron telah diterima polisi dengan nomor LP/1785/IV/2018/PMJ/Dit. Reskrimum.

Menurur Amron, penistaan agama Sukmawati melalui puisinya berjudul “Ibu Indonesia” itu lebih parah dibanding kasus penistaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang menyinggung surah Al-Maidah 51.

“Puisi yang dibacakan itu lebih parah dibandingkan pernyataan Ahok. Pernyataan Ahok dulu itu, kan, spontan. Kalau kasus Sukmawati, kan, puisi. Artinya, telah lebih dulu dikaji,” kata Amron di Polda Metro Jaya, seperi dilansir JPNN, Selasa (3/4/2018).

Menurut Amron, puisi Sukmawati yang menyinggung syarif Islam, cadar dan suara Adzan telah membuat gaduh umat Islam. Hal itu tentu tak bisa dibiarkan dan pihak kepolisian harus bertindak cepat.

“Dia sebagai orang Islam jangan seperti itu, lah. Maksudnya, jangan pakai bahasa kontroversial yang membuat geram dan gerah umat lain,” katanya.

Lebih lanjut, Amron menegaskan bahwa dirinya melaporkan Sukmawati secara pribadi. Kendati demikian, dia berjanji akan menyampaikan kepada Ketua Umum Hanura, Oesman Sapta, tentang apa yang telah dilakukannya terkait kasus Sukmawati itu. (publiknews)
Racmawati Soekarnoputeri, putri Bung Karno mengecam keras puisi yang ditulis dan dibacakan Sukmawati Soekarnoputri yang secara tegas memperlihatkan ketidaksukaannya pada Islam.

Menurut kakaknya, Rachmawati Soekarnoputri, tanda-tanda ke arah Islamophobia Sukma itu sudah tampak sejak beberapa waktu lalu.

Menurut Rachma, dirinya pernah diprotes keras oleh Sukma saat ikut menuntut agar proses hukum terhadap Basuki Tjahja Purnama yang mempermainkan surat Al Maidah ditegakkan.

“Dia keberatan saya ikut memperjuangan penegakan hukum pada aksi 411 tahun 2016. Saat penguasa mengatakan, aksi itu ditunggangi tokoh nasional, Sukma juga mengatakan saya mau makar,” kata Rachma lagi.

Menurut Rachma, Islamophobia yang menjangkiti Sukma bukan karena Bung Karno tidak membekali anak-anaknya dengan ajaran Islam.

“Ini juga membuat saya sedih, karena puisi Sukma dikaitkan dengan ajaran Bung Karno. Padahal, Bung Karno sudah cukup membekali anaknya dengan ajaran Islam. Bahwa ada yang menjadi abal-abal, itu pilihan masing-masing anak,” demikian Rachma. [rakyatmerdeka]

Minggu, 01 April 2018



MEDAN – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pada pemilu 2019 nanti jangn lagi memilih pemimpin yang dari tampangnya sederhana, tampangnya endeso dan merakyat .tapi setiap kebijakannya pro asing dan selalu menyengsarakan rakyatnya sendiri seperti sekarang ini.

“Jadi jangan kita pikir, oh orang ini tampangnya sederhana, tampangnya wong endeso, kita pilih jadi presiden, jangan model pak Yusril, oranya borzois, bajunya kayak tengku melayau,” kata Yusril dalam pidatonya di Kongres Umat Islam Sumatera Utara, Jumat (30/3/2018).

Pasalnya kata Yusril, tidak ada pengaruh wajah orang itu dengan kebijakan-kebijakannya. Ia mencontohkan, Bung Karno presiden pertama RI tak bertampang merakyat tapi setiap kebijakanya sangat pro terhadap rakyat.

“Bung karno itu, siapa yang bilang bungkarno itu tampanya merakyat? Enggak, pakai Jas putih mentereng, sepatunya mengkilat, kacamatanya yahud, merek RNB jaman dulu. Pecinya gagah. Pake mobil bak terbuka, hobynya koleksi barang antik patung, lukisan siapa bilang Bung Karno merakyat, enggak merakyat tampangnya, tapi sipa yang mengatakan bung karno itu kebijakanya tidak pro rakyat, tidak ada. Loh yang sekarang ini?,” ujar Yusril.

Yusril menegaskan, tak ada hubunganya wajah endeso dan enggak endeso bisa saja jadi diktator. Bisa saja pro asing dan tidak pro kepada rakyat.

“Tidak ada hubungnya wajah itu, lah katanya saya ini dibilang diktator, wong tampang saya tampang wong endeso, ga ada urusannya, tampang endeso enggak endeso bisa aja jadi diktator. Tampang endeso enggak endeso bisa aja pro asing tidak pro pada rakyatnya sendiri,” tegas Yusril.

Karena itu pakar Hukum Tata Negara ini berharap agar umat Islam aktif terlibat dalam berpolitik.

“Harapan saya, umat Islam jangan pasif. Harus aktif dalam politik. Jangan sampai 2019 terpilih kembali pemimpin yang seperti sekarang ini, bisa bikin kita susah semuanya” katanya.

Yusril mengajak umat Islam untuk belajar dari kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Hizbut Tahrir Indonesia tidak mau terlibat dalam Pemilu karena mau Khilafah. Tetapi, ketika Jokowi jadi presiden, dengan selembar surat diterbitkannya pembubaran HTI. HTI tidak bisa apa-apa,” katanya.

Dari kasus itu kemudian Yusril menyatakan kepada tokoh-tokoh HTI bahwa segudang kepintaran itu tidak ada artinya dibanding segenggam kekuasaan.

“Presiden itu ya, walaupun goblok, saya enggak sebut namanya siapa, saya enggak bilang namanya siapa, ini Presiden dalam arti umum, walaupun orangnya itu goblok, segoblok-gobloknya dia, ya tetap presiden. Kami-kami ini saya, Pak Amin, Pak Kivlan Zen dan lain-lain ini enggak ada apa-apanya, kita bukan siapa-siapa jika tidak punya kekuasaan,” pungkas Yusril. (Sri)
Bhima Yudhistira
Oleh :Bhima Yudhistira
Sarapan pagi soal utang untuk meramaikan kicauan bu de sri. Saya jadi inget Bill Clinton bilang “It’s economy stupid!” saat Kampanye tahun 1992. Clinton menyindir saingannya Bush senior yang merasa semua ini urusan politik. Sekarang soal utang mau ditarik2 ke urusan politik. Masak elit politik dan ekonom disejajarkan. Mau 2019 siapa kek 2024 siapa kami ga peduli. Kebijakan yg salah akan kami ingatkan. Begitu juga saat oposan macam pak Yusril dan Pak Prabowo agak melenceng kritiknya, kami yg paling depan untk menegur di ruang publik.

Semoga tulisan ini enak dibaca dan perlu.

*Menggugat Sesat Pikir Utang Pemerintah*

Dogma bahwa utang dalam kondisi aman karena masih dibawah 60% terhadap PDB mulai dipertanyakan. Pemerintah berulang kali menjelaskan ke publik bahwa tak ada salahnya untuk menambah utang. Tentu hal itu disertai gambaran akan jalan tol, jembatan dan bendungan yang sedang dibangun lewat utang. Mantra ajaib bak kaset tua selalu diputar-putar, “Jika berutang untuk pembangunan infrastruktur maka utang tersebut sesungguhnya utang produktif”.

Sedangkan bagi pihak yang meragukan efektivitas utang pemerintah akan dianggap sebagai penghasut yang berbahaya bagi stabilitas perekonomian nasional. Cap menakutkan tersebut dengan nada emosional terlontar dari pimpinan di lapangan banteng. Justru hal ini jadi aneh, kenapa pemerintah takut sekali jika utang dibilang memburuk, tidak efektif dan kurang produktif? Seharusnya kritik ditanggapi dengan kepala dingin bukan tudingan tukang hasut.

Lalu bagaimana seharusnya mengukur resiko dan produktivitas utang? Hal yang paling sederhana adalah mengukur utang terhadap PDB. Didalam UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 disebutkan bahwa batasan maksimal utang adalah 60% terhadap PDB. Tanpa tafsiran yang macam-macam, kesimpulannya kalau utang Pemerintah per Februari 2018 masih Rp4.034 triliun maka sama dengan 29,2% dari PDB alias jauh dibawah ambang batas 60%.

Tapi perkembangan utang nampaknya harus diupdate kembali, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana. Fakta di Eropa ketika krisis utang tahun 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB. Beberapa Negara di Eropa yang memiliki rasio utang diatas 100% seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program bailout Troika IMF. Sementara negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43% dan 39% masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong. Bukan berarti rasio utang irelevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified (terlalu menyederhanakan).

Indonesia juga sering dibanding-bandingkan dengan Jepang. Betul memang Jepang punya rasio utang diatas 200%. Tapi lebih dari 50% utang Jepang dipegang oleh bank Sentral Jepang. Sementara sisanya dikisaran 30% dipegang oleh residen atau penduduk Jepang. Artinya penduduk Jepang dan Bank Sentral Jepang yang memberi pinjaman ke Pemerintahnya. Apa manfaatnya? Ketika ekonomi global memburuk dan mengakibatkan panic sellout dipasar surat utang, Pemerintah Jepang tak terlalu khawatir. Ibu-ibu rumah tangga dan karyawan yang membeli surat utang tinggal mencairkan surat utang tapi uangnya tidak lari keluar negeri, melainkan berputar-putar di dalam ekonomi Jepang.

Kondisi di Indonesia cukup berbeda. Sebesar 38,7% surat utang Pemerintah dipegang oleh investor asing. Artinya, kondisi global seperti tren kenaikan bunga acuan Fed rate, instabilitas geopolitik, dan gelombang proteksionisme negara-negara maju sangat sensitif terhadap pasar surat utang di Indonesia. Karena pasar keuangan sangat dangkal, sekali goncangan eksternal terjadi kaburlah dana-dana asing di surat utang. Jadi tidak perlu heran kok rupiah bisa anjlok hingga 13.700-13.800 bulan Maret ini.

Indikator lain yang harusnya dibandingkan adalah rasio pajak tiap negara berbeda. Perlu dicatat dan dipahami bahwa utang bukan dibayar menggunakan PDB. Jadi rasio utang terhadap PDB sebenarnya hanya gambaran umum. Faktanya utang dibayar dengan penerimaan pajak. Sementara rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia hanya 11%. Jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara maju. Dengan Negara di ASEAN saja rasio pajak kita salah satu yang terendah, Malaysia sudah 14,2% dan Thailand 15,7%.

Kalau penerimaan pajak kita masih loyo karena rata-rata realisasinya hanya tumbuh 4% dalam 2 tahun terakhir, bagaimana membayar utang plus bunga nya? Munculah apa yang disebut sebagai defisit keseimbangan primer, total penerimaan negara dikurangi belanja, diluar pembayaran bunga utang. Artinya kalau terjadi defisit maka utang dicicil melalui utang baru. Gali lubang tutup lubang, tapi lubangnya saat ini makin dalam.

Yang jelas Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, dua profesor Harvard University ini juga pernah dibully karena berani memaparkan soal debt overhang (overhang utang). Bahwa utang yang terus meningkat berpotensi menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Kasus di negara-negara maju yang diteliti Reinhart dan Rogoff mungkin masih jauh dari Indonesia. Tapi setidaknya kita bisa banyak belajar, bahwa secara teori utang yang awalnya berbentuk leverage (mengungkit modal) bisa berubah menjadi resiko yang membahayakan ekonomi. Karena saat Pemerintah tahun 2017 lalu menambah 14% utang luar negeri, faktanya tidak bisa dipungkiri ekonomi kita hanya tumbuh 5%. Kisah ini menyisakan kekonyolan soal ambruknya beberapa toko ritel modern dan indikator lemahnya daya beli masyarakat yang diprediksi masih terjadi hingga 2018 ini.***

Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef)

Sumber : mediajakarta
HOME | ABOUT ME | PEDOMAN MEDIA SIBER
COPYRIGHT 2017 - BAROMET.INFO - PORTAL BERITA TERKINI