Bhima Yudhistira |
Sarapan pagi soal utang untuk meramaikan kicauan bu de sri. Saya jadi inget Bill Clinton bilang “It’s economy stupid!” saat Kampanye tahun 1992. Clinton menyindir saingannya Bush senior yang merasa semua ini urusan politik. Sekarang soal utang mau ditarik2 ke urusan politik. Masak elit politik dan ekonom disejajarkan. Mau 2019 siapa kek 2024 siapa kami ga peduli. Kebijakan yg salah akan kami ingatkan. Begitu juga saat oposan macam pak Yusril dan Pak Prabowo agak melenceng kritiknya, kami yg paling depan untk menegur di ruang publik.
Semoga tulisan ini enak dibaca dan perlu.
*Menggugat Sesat Pikir Utang Pemerintah*
Dogma bahwa utang dalam kondisi aman karena masih dibawah 60% terhadap PDB mulai dipertanyakan. Pemerintah berulang kali menjelaskan ke publik bahwa tak ada salahnya untuk menambah utang. Tentu hal itu disertai gambaran akan jalan tol, jembatan dan bendungan yang sedang dibangun lewat utang. Mantra ajaib bak kaset tua selalu diputar-putar, “Jika berutang untuk pembangunan infrastruktur maka utang tersebut sesungguhnya utang produktif”.
Sedangkan bagi pihak yang meragukan efektivitas utang pemerintah akan dianggap sebagai penghasut yang berbahaya bagi stabilitas perekonomian nasional. Cap menakutkan tersebut dengan nada emosional terlontar dari pimpinan di lapangan banteng. Justru hal ini jadi aneh, kenapa pemerintah takut sekali jika utang dibilang memburuk, tidak efektif dan kurang produktif? Seharusnya kritik ditanggapi dengan kepala dingin bukan tudingan tukang hasut.
Lalu bagaimana seharusnya mengukur resiko dan produktivitas utang? Hal yang paling sederhana adalah mengukur utang terhadap PDB. Didalam UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 disebutkan bahwa batasan maksimal utang adalah 60% terhadap PDB. Tanpa tafsiran yang macam-macam, kesimpulannya kalau utang Pemerintah per Februari 2018 masih Rp4.034 triliun maka sama dengan 29,2% dari PDB alias jauh dibawah ambang batas 60%.
Tapi perkembangan utang nampaknya harus diupdate kembali, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana. Fakta di Eropa ketika krisis utang tahun 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB. Beberapa Negara di Eropa yang memiliki rasio utang diatas 100% seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program bailout Troika IMF. Sementara negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43% dan 39% masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong. Bukan berarti rasio utang irelevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified (terlalu menyederhanakan).
Indonesia juga sering dibanding-bandingkan dengan Jepang. Betul memang Jepang punya rasio utang diatas 200%. Tapi lebih dari 50% utang Jepang dipegang oleh bank Sentral Jepang. Sementara sisanya dikisaran 30% dipegang oleh residen atau penduduk Jepang. Artinya penduduk Jepang dan Bank Sentral Jepang yang memberi pinjaman ke Pemerintahnya. Apa manfaatnya? Ketika ekonomi global memburuk dan mengakibatkan panic sellout dipasar surat utang, Pemerintah Jepang tak terlalu khawatir. Ibu-ibu rumah tangga dan karyawan yang membeli surat utang tinggal mencairkan surat utang tapi uangnya tidak lari keluar negeri, melainkan berputar-putar di dalam ekonomi Jepang.
Kondisi di Indonesia cukup berbeda. Sebesar 38,7% surat utang Pemerintah dipegang oleh investor asing. Artinya, kondisi global seperti tren kenaikan bunga acuan Fed rate, instabilitas geopolitik, dan gelombang proteksionisme negara-negara maju sangat sensitif terhadap pasar surat utang di Indonesia. Karena pasar keuangan sangat dangkal, sekali goncangan eksternal terjadi kaburlah dana-dana asing di surat utang. Jadi tidak perlu heran kok rupiah bisa anjlok hingga 13.700-13.800 bulan Maret ini.
Indikator lain yang harusnya dibandingkan adalah rasio pajak tiap negara berbeda. Perlu dicatat dan dipahami bahwa utang bukan dibayar menggunakan PDB. Jadi rasio utang terhadap PDB sebenarnya hanya gambaran umum. Faktanya utang dibayar dengan penerimaan pajak. Sementara rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia hanya 11%. Jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara maju. Dengan Negara di ASEAN saja rasio pajak kita salah satu yang terendah, Malaysia sudah 14,2% dan Thailand 15,7%.
Kalau penerimaan pajak kita masih loyo karena rata-rata realisasinya hanya tumbuh 4% dalam 2 tahun terakhir, bagaimana membayar utang plus bunga nya? Munculah apa yang disebut sebagai defisit keseimbangan primer, total penerimaan negara dikurangi belanja, diluar pembayaran bunga utang. Artinya kalau terjadi defisit maka utang dicicil melalui utang baru. Gali lubang tutup lubang, tapi lubangnya saat ini makin dalam.
Yang jelas Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, dua profesor Harvard University ini juga pernah dibully karena berani memaparkan soal debt overhang (overhang utang). Bahwa utang yang terus meningkat berpotensi menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Kasus di negara-negara maju yang diteliti Reinhart dan Rogoff mungkin masih jauh dari Indonesia. Tapi setidaknya kita bisa banyak belajar, bahwa secara teori utang yang awalnya berbentuk leverage (mengungkit modal) bisa berubah menjadi resiko yang membahayakan ekonomi. Karena saat Pemerintah tahun 2017 lalu menambah 14% utang luar negeri, faktanya tidak bisa dipungkiri ekonomi kita hanya tumbuh 5%. Kisah ini menyisakan kekonyolan soal ambruknya beberapa toko ritel modern dan indikator lemahnya daya beli masyarakat yang diprediksi masih terjadi hingga 2018 ini.***
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef)
Sumber : mediajakarta