Minggu, 01 April 2018

Yusril: tak ada hubunganya wajah ndeso dan enggak ndeso bisa saja jadi diktator



MEDAN – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pada pemilu 2019 nanti jangn lagi memilih pemimpin yang dari tampangnya sederhana, tampangnya endeso dan merakyat .tapi setiap kebijakannya pro asing dan selalu menyengsarakan rakyatnya sendiri seperti sekarang ini.

“Jadi jangan kita pikir, oh orang ini tampangnya sederhana, tampangnya wong endeso, kita pilih jadi presiden, jangan model pak Yusril, oranya borzois, bajunya kayak tengku melayau,” kata Yusril dalam pidatonya di Kongres Umat Islam Sumatera Utara, Jumat (30/3/2018).

Pasalnya kata Yusril, tidak ada pengaruh wajah orang itu dengan kebijakan-kebijakannya. Ia mencontohkan, Bung Karno presiden pertama RI tak bertampang merakyat tapi setiap kebijakanya sangat pro terhadap rakyat.

“Bung karno itu, siapa yang bilang bungkarno itu tampanya merakyat? Enggak, pakai Jas putih mentereng, sepatunya mengkilat, kacamatanya yahud, merek RNB jaman dulu. Pecinya gagah. Pake mobil bak terbuka, hobynya koleksi barang antik patung, lukisan siapa bilang Bung Karno merakyat, enggak merakyat tampangnya, tapi sipa yang mengatakan bung karno itu kebijakanya tidak pro rakyat, tidak ada. Loh yang sekarang ini?,” ujar Yusril.

Yusril menegaskan, tak ada hubunganya wajah endeso dan enggak endeso bisa saja jadi diktator. Bisa saja pro asing dan tidak pro kepada rakyat.

“Tidak ada hubungnya wajah itu, lah katanya saya ini dibilang diktator, wong tampang saya tampang wong endeso, ga ada urusannya, tampang endeso enggak endeso bisa aja jadi diktator. Tampang endeso enggak endeso bisa aja pro asing tidak pro pada rakyatnya sendiri,” tegas Yusril.

Karena itu pakar Hukum Tata Negara ini berharap agar umat Islam aktif terlibat dalam berpolitik.

“Harapan saya, umat Islam jangan pasif. Harus aktif dalam politik. Jangan sampai 2019 terpilih kembali pemimpin yang seperti sekarang ini, bisa bikin kita susah semuanya” katanya.

Yusril mengajak umat Islam untuk belajar dari kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Hizbut Tahrir Indonesia tidak mau terlibat dalam Pemilu karena mau Khilafah. Tetapi, ketika Jokowi jadi presiden, dengan selembar surat diterbitkannya pembubaran HTI. HTI tidak bisa apa-apa,” katanya.

Dari kasus itu kemudian Yusril menyatakan kepada tokoh-tokoh HTI bahwa segudang kepintaran itu tidak ada artinya dibanding segenggam kekuasaan.

“Presiden itu ya, walaupun goblok, saya enggak sebut namanya siapa, saya enggak bilang namanya siapa, ini Presiden dalam arti umum, walaupun orangnya itu goblok, segoblok-gobloknya dia, ya tetap presiden. Kami-kami ini saya, Pak Amin, Pak Kivlan Zen dan lain-lain ini enggak ada apa-apanya, kita bukan siapa-siapa jika tidak punya kekuasaan,” pungkas Yusril. (Sri)
HOME | ABOUT ME | PEDOMAN MEDIA SIBER
COPYRIGHT 2017 - BAROMET.INFO - PORTAL BERITA TERKINI