Jakarta - Sempat ramai soal poros ketiga di Pilpres 2019 dengan formasi Partai Demokrat (PD)-PKB-PAN, namun belum juga terwujud. Kini Demokrat kembali menggencarkan terbentuknya poros ketiga itu, terutama setelah 'disenggol' PDIP.
Wacana terbentuknya poros ketiga muncul agar ada capres alternatif selain petahana Joko Widodo (Jokowi)--bersama koalisi pemerintahan--dan Prabowo Subianto dengan koalisi Gerindra-PKS. Demokrat-PKB-PAN memiliki modal cukup untuk bisa mengusung pasangan sendiri di Pilpres 2019. Ini mengingat syarat ambang batas capres di UU Pemilu di mana Parpol atau koalisi parpol harus mengantongi total 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah hasil Pemilu 2014.
Ketiga partai ini mulai menjalin komunikasi intensif menjajaki kemungkinan terbentuknya poros ketiga. Bahkan elite Demokrat-PKB-PAN sempat beberapa kali bertemu, termasuk pada Kamis (8/3/2018) lalu. Namun nyatanya belum ada sinyal positif sejak saat itu.
"Tadi kami sepakat pertemuan ini belum yang pertama dan terakhir, masih panjang. Hari ini tuan rumah Demokrat. Tadi kami sepakat tuan rumah berikutnya mas Eddy PAN nanti dia jelasin dimana lagi. Setelah dari PAN baru PKB terus berputar," kata Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan usai pertemuan.
Sejak saat itu, poros ketiga lama-lama mulai terlupakan. Apalagi Ketum PAN Zulkifli Hasan sempat mengungkapkan rasa pesimistis terkait poros ketiga ini. Dia merasa poros ketiga berat untuk terwujud, mengingat elektabilitas Jokowi yang cukup tinggi.
"Secara matematis, poros ketiga mungkin, tapi kan saya katakan tidak mudah," kata Zulkifli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/3/2018).
"Pak Jokowi kan surveinya tinggi di segala lini. Namanya incumbent, punya kekuatan bisa saja gitu. Secara matematis bisa, tapi yang mungkin bisa dua (poros)," imbuhnya.
Lalu, ketiga partai ini mulai bermanuver sendiri-sendiri. PAN menawarkan Koalisi Nasional yang ingin semua parpol bersatu, seolah mengesankan mencari capres tunggal. Kemudian PKB terus 'memasarkan' sang ketumnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi cawapres.
Partai Demokrat sendiri sempat terlihat hendak merapat mendukung Jokowi. Apalagi setelah Jokowi datang ke Rapimnas partai berlambang mercy itu dan menyatakan dirinya juga seorang 'demokrat'.
"Jika Allah menakdirkan, sangat bisa PD berjuang bersama Bapak," kata Ketum PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan Jokowi.
Sayang, hangatnya hubungan Demokrat dan Jokowi diuji setelah Setya Novanto menyebut dua kader PDIP, Puan Maharani dan Pramono Anung ikut menerima uang suap e-KTP. Pasalnya, PDIP turut melempar 'peluru' ke Demokrat ketika membela dua kader andalannya tersebut.
Baca :
Kemesraan Demokrat dan Jokowi seolah buyar gara-gara reaksi Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terhadap pernyataan Novanto di persidangan itu. Anehnya, Hasto tak menyerang Golkar namun menyerang Partai Demokrat.
Hasto mengkontraskan slogan 'Katakan Tidak Pada Korupsi' dengan kasus korupsi yang menimpa kader Partai Demokrat. Akibat pernyataan Hasto, Demokrat pun berang.
"Pernyataan Sekjend PDIP yang langsung menyalahkan kebijakan dan program E-KTP lantaran kader-kadernya ada yang diduga terlibat korupsi E-KTP ibarat mencuci tangan yang kotor dan kemudian airnya disiramkan ke orang lain," tukas Sekjen PD Hinca Pandjaitan, Jumat (23/3).
Saling serang antara kubu Demokrat dan PDIP sempat terjadi karena hal tersebut. PDIP pun kemudian menepis tudingan tengah bermanuver ingin memisahkan Demokrat dan Jokowi.
Wacana terbentuknya poros ketiga muncul agar ada capres alternatif selain petahana Joko Widodo (Jokowi)--bersama koalisi pemerintahan--dan Prabowo Subianto dengan koalisi Gerindra-PKS. Demokrat-PKB-PAN memiliki modal cukup untuk bisa mengusung pasangan sendiri di Pilpres 2019. Ini mengingat syarat ambang batas capres di UU Pemilu di mana Parpol atau koalisi parpol harus mengantongi total 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah hasil Pemilu 2014.
Ketiga partai ini mulai menjalin komunikasi intensif menjajaki kemungkinan terbentuknya poros ketiga. Bahkan elite Demokrat-PKB-PAN sempat beberapa kali bertemu, termasuk pada Kamis (8/3/2018) lalu. Namun nyatanya belum ada sinyal positif sejak saat itu.
"Tadi kami sepakat pertemuan ini belum yang pertama dan terakhir, masih panjang. Hari ini tuan rumah Demokrat. Tadi kami sepakat tuan rumah berikutnya mas Eddy PAN nanti dia jelasin dimana lagi. Setelah dari PAN baru PKB terus berputar," kata Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan usai pertemuan.
Sejak saat itu, poros ketiga lama-lama mulai terlupakan. Apalagi Ketum PAN Zulkifli Hasan sempat mengungkapkan rasa pesimistis terkait poros ketiga ini. Dia merasa poros ketiga berat untuk terwujud, mengingat elektabilitas Jokowi yang cukup tinggi.
"Secara matematis, poros ketiga mungkin, tapi kan saya katakan tidak mudah," kata Zulkifli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/3/2018).
"Pak Jokowi kan surveinya tinggi di segala lini. Namanya incumbent, punya kekuatan bisa saja gitu. Secara matematis bisa, tapi yang mungkin bisa dua (poros)," imbuhnya.
Lalu, ketiga partai ini mulai bermanuver sendiri-sendiri. PAN menawarkan Koalisi Nasional yang ingin semua parpol bersatu, seolah mengesankan mencari capres tunggal. Kemudian PKB terus 'memasarkan' sang ketumnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi cawapres.
Partai Demokrat sendiri sempat terlihat hendak merapat mendukung Jokowi. Apalagi setelah Jokowi datang ke Rapimnas partai berlambang mercy itu dan menyatakan dirinya juga seorang 'demokrat'.
"Jika Allah menakdirkan, sangat bisa PD berjuang bersama Bapak," kata Ketum PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan Jokowi.
Sayang, hangatnya hubungan Demokrat dan Jokowi diuji setelah Setya Novanto menyebut dua kader PDIP, Puan Maharani dan Pramono Anung ikut menerima uang suap e-KTP. Pasalnya, PDIP turut melempar 'peluru' ke Demokrat ketika membela dua kader andalannya tersebut.
Baca :
- Survei PolcoMM: AHY-Zulkifli Hasan Duet Ideal Poros Ketiga
- PAN Ingin Usung Jokowi, PD Masih Rayu Gabung ke Poros Ketiga
- Bahas Poros Ketiga, PD Atur Pertemuan SBY-Zulkifli Hasan-Cak Imin
Kemesraan Demokrat dan Jokowi seolah buyar gara-gara reaksi Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terhadap pernyataan Novanto di persidangan itu. Anehnya, Hasto tak menyerang Golkar namun menyerang Partai Demokrat.
Hasto mengkontraskan slogan 'Katakan Tidak Pada Korupsi' dengan kasus korupsi yang menimpa kader Partai Demokrat. Akibat pernyataan Hasto, Demokrat pun berang.
"Pernyataan Sekjend PDIP yang langsung menyalahkan kebijakan dan program E-KTP lantaran kader-kadernya ada yang diduga terlibat korupsi E-KTP ibarat mencuci tangan yang kotor dan kemudian airnya disiramkan ke orang lain," tukas Sekjen PD Hinca Pandjaitan, Jumat (23/3).
Saling serang antara kubu Demokrat dan PDIP sempat terjadi karena hal tersebut. PDIP pun kemudian menepis tudingan tengah bermanuver ingin memisahkan Demokrat dan Jokowi.