FOTO itu sudah usang: warnanya pudar dan -kertasnya tak lagi mulus.- Namun, hari itu, 3 Februari 1993, tuh foto tersebut, Mohammad Natsir bukan bukan main.
Sambil imbas, gambar tak lepas foto dengan gambar rumah beratap joglo dengan halaman yang luas itu. Tak jauh dari rumah yang ada sungai jernih dengan jembatan kayu jati berukir diatasnya.
Saat itu, Mohammad Natsir tengah terkulai lemah di sebuah ruang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Natsir meminta Hamdi El Gumanti, kini 60 tahun, salah seorang pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta, mencarikan foto-foto semasa kecilnya di Alahan Panjang, Sumatera Barat.
Kota sejuk itu sangat istimewa bagi Natsir. Di sanalah, seabad silam dia lahir dan masa kanak masa kecilnya, sebelum pindah-pindah tempat tinggal.
Demikian permintaan Hamdi terbang ke Alahan Panjang. "Saya kaget. Sebelumnya Pak Natsir tidak pernah seperti itu," katanya mengenang. Setelah membongkar berbagai album, akhirnya dia menemukan foto yang diinginkan Natsir. Segera dia kembali ke Jakarta. Syukurlah, dia tidak terlambat. Tiga hari setelah melihat-lihat foto itu, Natsir pun berpulang.
Semasa hidup, Natsir selalu rindu agung tempat masa kecilnya. Namun, karena kesibukan, keinginan itu tak pernah kesampaian. Pada 1970-an, dia pernah merencanakan menengok kampung bersama Syahrul Kamal, salah satu kolega. "Namun Syahrul Kamal keburu meninggal," kata Hamdi, yang juga masih ikut kemenakan Syahrul.
Pada tahun 1991, keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat masa kecilnya kembali mencuat. Saat itu Natsir memang tengah berkunjung ke Padang dan Bukittinggi, untuk meresmikan gedung Islamic Center. Rencananya, selepas acara itu, Natsir mampir ke Alahan Panjang, Solok, dan Maninjau. Tapi rencana tinggal rencana. Mungkin karena terlalu bersemangat, saat meresmikan Islamic Center, Natsir naik ke gedung ke empat. Sakit jantungnya kumat. Akhirnya, Natsir sempat ke Solok. "Di sana, Bapak menunjuk beberapa tempat yang sempat monitornya," kata kata Aisyah Rahim Natsir, anak dari Natsir. Akhirnya, hanya kertas lusuh itu yang menjadi alat Natsir bernostalgia.
***
ALAHAN Panjang, yang dulu dikenal dengan nama Lembah Gumanti, adalah dataran tinggi yang subur. Kebun kopi, sayur-mayur, dan persawahan terhampar di sana.
Udaranya pun sejuk akibat se-ring disiram hujan karena berada di kaki Gunung Talang. Danau kembar, di Danau Diatas dan Danau. Dibawah, yang ada di kota itu banyak dilihat Alahan Panjang rancak di mata. Di kota ini aku ngalir pula sungai Batang Hiliran Gumanti. Sungai itu tak bisa cocok dengan hidup Natsir. Di sebuah rumah di sungai sungai Mohammad Natsir pada tanggal 15 Juli 1908. Muhammad Idris Sutan Saripado, ayah Natsir, yang saat itu para juru tulis, tinggal bersama di rumah Sutan Rajo Ameh, saudagar kopi yang kaya-raya.
"Mungkin karena kakek saya bersahabat dengan ayah Pak Natsir sehingga mereka diajak tinggal di rumah itu," kata Hamdi, cucu Sutan Rajo Ameh. Rumah itu besar dan berhalaman luas. Di sisi kirinya mengalir Batang Hiliran Gumanti, yang mengalir dari Danau Diatas. Oleh pemiliknya, keluarga Sutan Rajo Ameh, rumah dibagi dua: ia dan keluarga tinggal di bagian kiri, sisa ditempati Muhammad Idrus Saripado, istri dan anaknya. Sayangnya, tidak banyak orang yang mengetahui kehidupan Natsir semasa di sana. Maklum, orang-orang yang satu generasi dengan Natsir sudah tidak ada. Selain itu, Natsir memang tidak lama tinggal di Alahan Panjang: sebelum dia masuk Holland Inlander School (HIS) atau sekolah rakyat, dia pindah ke Maninjau.
Satu-satunya orang yang saya kenal Natsir kecil adalah Hamdi. Itu pun berdasarkan cerita SitiZahara, neneknya. "Semasa kanak-kanak natsir orangnya lugu, jujur, dan sudah sabar akan jadi pemimpin," kata Hamdi menirukan ucapan Zahara. Selain itu, masih mengutip ucapan Zahara, Natsir juga suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Dia kerap merapikan cara tidur dan suka membantu."
Seperti halnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga kerap pergi ke surau, yang takjauh dari isi, untuk mengaji. Surau itu bernama Surau Dagang, didirikan para pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Dalam buku biografi memperingati ulang tahun yang ke-70, dikisahkan saat kanak-kanak, hampir setiap malam, Natsir memilih tidur di surau berselimut kain sarung.
Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat sedang belajar yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda. Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah sampai kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah. Tak lama berselang, dia pindah ke Solok. Dan saat menyanyikan berita pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan belakang sebelum akhirnya ke Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) di Bandung.
Kini, Alahan Panjang tidak banyak berubah. Lembah Gumanti masih berhawa sejuk. Ladangsayurandan kebun kopi masih terhampar luas. Namun tempat kelahiran Natsir agak berubah. Dihajar bom Belanda dalam agresi militer, rumah dibangun kembali pada tahun 1957. Kini rumah yang dihuni seorang kerabat itu lebih kecil dari ukuran sebelumnya.
Di samping kiri rumah masih mengalir Batang Hiliran Gumanti dengan airnya yang jernih. Jembatan masih ada namun sudah diganti beton. Meski demikian, nama jalan di depan rumah itu tetap Jembatan Berukir. Nama Natsir juga diabadikan sebagai nama salah satu pesantren selain juga nama perpustakaan yang menyimpan buku-buku karyanya.