Selasa, 27 Maret 2018

HLKI: Kenaikan Harga Pertalite Lukai Konsumen

Bandung - Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Firman Turmantara menilai, kenaikan harga BBM jenis pertalite sebesar Rp200/liter pada akhir pekan lalu ditengarai melanggar hukum.
Menurutnya, kendati pertalite merupakan bahan bakar nonsubsidi namun BBM tersebut merupakan komoditas strategis. Kenaikan harga yang dinilainya sekonyong-konyong itu menggambarkan tidak adanya transparansi.
"Kenaikan pertalite itu melukai konsumen. Kenaikan itu tidak ada kesepakatan antara Pertamina dan perwakilan konsumen yakni lembaga konsumen. Saya sebagai Ketua UMUM HLKI Jabar, Banten, dan DKI tidak pernah diajak bicara," kata Firman kepada INILAH, Selasa (27/3).
Dia menegaskan, dari aspek yuridis kebijakan kenaikan pertalite itu pun melanggar hukum. Sebab, berdasarkan Pasal 1320 Kitab Umum Hukum Perdata (KUHP) menyebutkan syarat sahnya perjanjian itu ditunjukkan dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam hal ini, pihaknya tidak pernah diajak bicara sebelumnya. Lalu, dia mempertanyakan kebijakan tersebut diduga tidak melibatkan DPR sebagai representasi rakyat.
"Karena tidak ada kesepakatan, kenaikan pertalite ini melanggar KUHP. Akibat hukumnya, kebijakan tersebut dapat dibatalkan," tambahnya.
Parahnya, Firman mengaku kenaikan pertalite itu memaksa konsumen sebagai pengguna. Ketiadaaan pilihan itu memaksa konsumen pasrah menerima.
Seharusnya, kenaikan komoditas strategis itu dilakukan sosialisasi dua-tiga bulan sebelumnya. Saat kenaikan pun, Pertamina tidak mengumumkannya secara terbuka. Hal ini diakuinya melanggar Pasal 33 UUD 1945.
Tak hanya itu, dia menilai konsumen pun akan terbebani lagi. Khususnya, untuk memenuhi kebutuhan berupa komoditas yang rantai distribusinya menggunakan pertalite.
Disinggung mengenai kemungkinan pertalite menjadi acuan harga barang-barang, dia menyebutkan ada indikator ke arah sana. Pasalnya, kini ketersediaan premium di pasaran semakin minim dan cenderung langka.
Untuk itu, dia mengaku dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan 350-400 YLKI yang tersebar di seluruh Indonesia. Isu yang diangkat yakni saat ini aspek perlindungan konsumen semakin buruk. Pemerintah diakuinya tidak bijak dan perhatiannya semakin jauh terhadap nasib konsumen.
"Untuk pemerintah, jangan salahkan masyarakat jika sekarang suuzon," tegasnya.(Sp)
HOME | ABOUT ME | PEDOMAN MEDIA SIBER
COPYRIGHT 2017 - BAROMET.INFO - PORTAL BERITA TERKINI